PT Asuransi Prisma Indonesia agaknya berkukuh mempailitkan dirinya sendiri. Sejak banyak kasus yang menimpa prusahaan asuransi ini bertubi-tubi.Sepekan setelah putusan penolakan pailit terhadap PT Asuransi Prisma Indonesia dijatuhkan, kuasa hukum perusahaan itu langsung mengajukan memori kasasi melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Rabu (10/3). Putusan majelis hakim yang dijatuhkan Sugeng Riyono, dinilai keliru dalam menerapkan hukum.
Majelis hakim tingkat pertama dalam putusannya menyatakan Pasal 149 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sifatnya mengatur badan hukum yang bersifat umum. Pasal itu menentukan jika likuidator memperkirakan jumlah utang lebih besar dari aset perusahaan yang dilikuidasi maka likuidator wajib mempailitkan perusahaan tersebut.
Asuransi Prisma memang secara sukarela membubaran diri (likuidasi). Hal itu diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 17 Juni 2008. Hasil kesepakatan RUPS lalu dituangkan dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT Asuransi Prisma Indonesia No. 1 tertanggal 11 Juli 2008. Dengan demikian, terhitung sejak 17 Juni 2008, PT Asuransi Prisma berada dalam proses likuidasi.
Meski begitu, majelis hakim tetap meilirik Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menentukan pemailitan terhadap perusahaan asuransi harus diajukan oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Merujuk pada ketentuan itu, majelis hakim berpendapat meski Menkeu telah mencabut izin usaha Asuransi Prisma dan telah dibubarkan dengan RUPS, secara hukum badan hukum Asuransi Prisma masih eksis. Karena itu, tetap tunduk pada UU Kepailitan.
Sementara, menurut majelis hakim, Asuransi Prisma tak mendapat kuasa atau persetujuan dari Menkeu. Dengan begitu, tim likudiasi tak berhak bertindak untuk dan atas nama mempailitkan Asuransi Prisma.
Pertimbangan hukum itu dipertanyakan kuasa hukum pemohon kasasi, Wiku Krisnamurti. Menurutnya, majelis akim tidak memberikan indikator atau penjelasan dimana letak eksistensi Asuransi Prisma, apakah sebagai perusahaan biasa atau perusahaan asuransi. Pertimbangan majelis hakim tersebut dinilai salah dalam penerapan hukum.
Menurut Wiku, dengan pencabutan izin usaha otomatis Asuransi Prisma berstatus sebagai perseroan biasa. Hubungan hukum antara Menkeu dan Asuransi Prisma pun berakhir. Hanya, namanya masih mencantumkan kata asuransi. Bukti bahwa Asuransi Prisma bukan lagi sebagai perusahaan asuransi adalah sanksi pembatasan kegiatan usaha dan larangan melakukan penutupan pertanggungan baru. Hal itu tertuang dalam Surat meneu No. S-1199/MK.10/2007 pada 26 September 2007.
Melalui surat itu, Menkeu memberikan tenggat waktu hingga tiga bulan sejak surat itu diterbitkan agar Asuransi Prisma memenuhi aturan tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi. Jika tidak, izin akan dicabut. Faktanya, Asuransi Prisma tak dapat memenuhi aturan itu. Walhasil, pada 13 Mei 2008 Menkeu resmi mencabut izin usaha Asuransi Prisma.
Apalagi, jumlah utang perusahaan diperkirakan lebih besar dibanding aset Asuransi Prisma. Total utang perusahaan per 4 Desember 2009 berjumlah Rp11,566 miliar, sedangkan aset Asuransi Prisma diperkirakan senilai Rp1,641 miliar. Namun ini tidak dipertimbangkan majelis hakim.
“Sehingga sangat layak apabila Mahkamah Agung membatalkan pertimbangan hukum tersebut,” ujar Wiku dalam memori kasasi. Selain itu, dalam memori kasasi, Asuransi Prisma meminta MA mengangkat balai harta peninggalan sebagai kurator.
Referensi
http://hukumonline.com/berita/baca/lt4b985d895927b/ditolak-pailit-asuransi-prisma-ajukan-kasasi